Thursday, May 13, 2010

A Case for Producer: Low Quality Products

A Case for Producer
Kemarin baru saja bertemu dengan teman lama di sebuah restoran di Surabaya. Setelah perbincangan nostalgia, kami pun berdiskusi mengenai barang2 produksi Indonesia. Satu pihak mengatakan bahwa barang2 Indonesia sulit bersaing secara global karena mutu yang tidak dijaga dan kalah dengan barang2 luar negeri. Mentalitas produsen Indonesia yang cepat puas sering kali menjadi penghambat untuk berkreasi maju dan bersaing di pentas yang lebih besar. Di forum ini aku sebagai produsen sepatu Indonesia ingin memberikan pendapat dari sudut pandang produsen maupun juga sudut pandang sebagai pengamat ekonomi makro.
Sebagai produsen kita hanya memproduksi suatu barang yang bisa laku dijual alias yang ada marketnya. Kita tidak memproduksi barang berdasarkan idealisme untuk menghasilkan produk kualitas terbaik tapi kemudian tidak laku di pasaran. Berhubung kebanyakan produsen Indonesia adalah padat karya (mengandalkan jumlah pekerja daripada teknologi tinggi) karena keterbatasan dana tentunya, maka barang2 yang dihasilkan secara kuantitas dan cost efficiency kalah dengan produsen kelas dunia. Tapi itu bukan alasan untuk menghasilkan barang dengan mutu rendah kan?
Betul, tetapi alasan tersebut masih separuh dari situasi sebenarnya. Separuh yang lain harus dilihat dari sisi konsumen. Dari sisi konsumen sendiri kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membeli barang kualitas tinggi yang pastinya dihargai lebih mahal (you get what you pay). Situasi ini berbeda dengan negara2 maju yang mana kebanyakan daya belinya jauh lebih kuat sehingga memiliki privilege untuk membeli barang2 berkualitas. Maka dengan situasi demikian, produsen yang kalah secara efiesiensi cost dan konsumen yang kurang kuat daya belinya bersinergi untuk menciptakan situasi yang ada seperti sekarang, yaitu barang dengan bermutu menengah sampai rendah tapi mampu dijangkau oleh orang kebanyakan di Indonesia.
Dari segi ekonom, sangatlah aneh untuk menyalahkan produsen dalam hal rendahnya mutu. Sekali lagi produsen hanyalah memfasilitasi permintaan pasar. Pasar Indonesia yang lebih dominan dengan daya beli menengah ke bawah otomatis direspon oleh produsen dengan menghasilkan barang dengan mutu serupa. Jadi bila menginginkan barang Indonesia meningkat mutunya maka yang harus diubah adalah dari konsumennya. Bila konsumen bergerak seleranya ke arah barang2 bermutu tinggi, maka sudah pasti produsen yang bisanya cuman menghasilkan mutu rendah akan gulung tikar dengan sendirinya dan yang menjaga mutunya tetap bisa eksis. Itulah hukum pasar bebas.
Suatu dilema memang bisa terjadi, bahkan di negara maju seperti Amerika sekalipun. Konsumen Amerika yang daya belinya relatif kuat sekalipun pasti juga menginginkan harga murah tapi kualitas mahal, mana ada sih orang yang rela membayar lebih mahal untuk barang yang sama bila bisa mendapatkan yang lebih murah. Nah, persaingan yang sangat ketat membuat produsen memikir otak dan mencari kreativitas untuk merespon permintaan pasar tersebut. Terjadilah fenomena yang sekarang ini terkenal dengan nama outsourcing (pekerjaan produksi diekspor ke luar negeri, biasanya ke negara berkembang atau miskin dimana harga labor lebih murah) untuk menekan production cost. Apakah itu menjadi solusi ideal? Ternyata tidak juga karena sekarang banyak juga rakyat Amerika yang berteriak memprotes bahwa banyak lapangan kerja mereka dipindahkan ke Meksiko atau negara berkembang lain, atau juga ada dari komisi perlindungan anak yang protes bahwa outsource itu mempekerjakan anak di bawah umur sehingga bisa termasuk child abuse. Nah, padahal orang2 yang protes itu juga yang menekan produsen untuk mencari alternatif kreatif tersebut. Maunya barang berkualitas tinggi tapi bayarnya selevel kaki lima....ya repot.
Jadi sekali lagi produsen hanya merespon konsumen, produsen yang tidak bisa merespon trend perubahan konsumen pasti akan gulung tikar dan digantikan dengan produsen yang bisa menangkap momen tersebut. Selama konsumer tidak mau membayar harga yang pantas untuk kualitas yang seharusnya, maka produsen akan mencari cara-cara kreatif lain. Oleh sebab itu aku selalu menghargai orang2 yang mau memegang prinsipnya walaupun itu berefek ke kantongnya. Orang2 yang anti beli barang bajakan misalnya akan memberikan signal pada produsen barang bajakan untuk berhenti melakukan degradasi kualitas seperti itu. Jadi sebelum kita mengutuki para produsen yang menghasilkan mutu rendah sehingga imej barang Indonesia itu murahan atau mengutuki para pembajak, marilah kita bertanya pada diri sendiri konsumen macam apakah aku ini, produsen macam apakah yang aku sebenarnya support.