Sunday, July 24, 2011

Why I Am Not A Christian-Part 2

Topik 2: Gereja Penuh Dengan Orang Munafik

Ketika kita bicara perihal kemunafikan, sebenarnya kita bicara mengenai kebohongan. Ketika seseorang menampilkan apa yang tidak sebenarnya pada saat itulah dia sedang berbohong. Gereja ternyata tidak kebal terhadap dosa satu ini. Tidak bisa disangkal bahwa di dalam gereja ada orang munafik.
Permasalahan kemunafikan ini adalah isu semua orang dan tidak hanya eklusif dimiliki oleh gereja atau orang Kristen saja. Sehingga adalah tidak fair bila memberi tekanan yang tidak realistis kepada gereja untuk kebal terhadap dosa satu ini. Apalagi sejak awalnya gereja sendiri adalah kumpulan orang berdosa. Bila seseorang tidak merasa berdosa tidak seharusnya dia berada di dalam gereja, karena Tuhan sendiri menyatakan bahwa DiriNya mencari "domba yang terhilang" dan "hanya orang sakit yang memerlukan dokter".
Akan tetapi tidak boleh disangkal pula bahwa kemunafikan di gereja menyakitkan atau mengecewakan banyak orang sehingga enggan ke gereja. Apalagi bila yang dituduh melakukan kemunafikan adalah pendetanya.
Sehingga muncullah jargon yang mengatakan "lakukanlah apa yang kau khotbahkan," bila tidak bisa maka pendeta itupun dicap sebagai munafik. Sejujurnya akan sangat sedikit sekali yang bisa dikhotbahkan oleh pendeta itu bila dia hanya boleh berkhotbah tentang yang sudah dia lakukan. Sedangkan ada banyak sekali kebenaran-kebenaran Firman Tuhan yang perlu disampaikan terlepas dari kegagalan si pendeta tersebut dalam melakukannya.
Adalah lebih realistis, ekspetasi kita tentang ke-genuine (asli, tulus) an pendeta didasari pemikiran bahwa pendeta itu bisa salah dan selama pendeta itu mengakui kesalahannya maka dia tidaklah pantas disebut munafik.
Ke-Kristenan sendiri tidak pernah menyatakan ada seorang pun yang tidak berdosa (Rom 3:23) kecuali Tuhan Yesus sendiri. Untuk itulah diperlukan pengampunan bagi yang bertobat dari kesalahannya. Hal ini harus diakui walaupun di dalam gereja sendiri masih banyak kelemahan dalam hal pengampunan. Kelangkaan pengampunan di gereja memberikan tekanan yang sangat besar bagi orang yang melakukan kesalahan untuk berani mengakuinya dan meminta pengampunan, sehingga menjadi munafik adalah jalan yang terpaksa dipilihnya. Seandainya gereja menjadi lumbung pengampunan, maka dosa kemunafikan ini pasti lebih bisa diminimalisir.
Tapi di satu sisi yang lain ke-Kristenan juga mengutuk ketoleriran terhadap dosa. Gereja yang terlalu toleran terhadap dosa dan tidak ada disiplin gereja juga dikecam. Pengakuan dosa yang dilakukan tidak lagi diiringi dengan kehancuran hati dan pertobatan. Melainkan hanya menjadi fenomena lumrah yang murahan. Lalu bagaimanakah seharusnya sikap Kristen yang sejati terhadap problem dosa ini?
Seorang hamba Tuhan menyebutnya dengan istilah realistic redemptive. Artinya orang Kristen seharusnya realistis bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna, tapi semuanya yang bertobat harus melalui proses penebusan untuk dijadikan lebih baik.
Semoga dengan penjelasan ini semua orang baik Kristen maupun non-Kristen bisa menyadari ke-manusiaan gereja dan pendeta, dan juga menyadari akan karya Tuhan untuk memproses umat-Nya menjadi lebih sempurna.

Source: Sproul, "Mengapa Percaya", dan hasil diskusi Komisi Pemuda GKA Trinitas tanggal 23 Juli 2011

Sunday, July 17, 2011

Why I Am Not A Christian Series-Part 1

Seringkali ketika kita berbicara mengenai ke-Kristenan, ada beberapa alasan-alasan klasik yang seringkali disampaikan untuk menolak percaya kepada Kristus. Tulisan ini dibuat tidak untuk menyerang apalagi menghina orang-orang tersebut, melainkan direncanakan untuk menjadi suatu alternatif cara berpikir. Seringkali kita memegang teguh alasan-alasan adalah karena kita tidak mampu melihat adanya alternatif lain yang masuk akal sebagai pengganti alasan tersebut. Semoga tulisan-tulisan bersambung ini bisa menjadi jawaban akan kerinduan alternatif lain.
Part 1: "Semua Agama Sama"
Yesus mengeluarkan sebuah klaim yang sangat luar biasa kontroversial bagi kita yang hidup di zaman modern:
Yoh 14:6 =>"Akulah jalan, dan kebenaran, dan hidup. Tidak ada seorangpun datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku." (LAI).
Klaim tersebut tidak sejalan dengan semangat pluralisme modern sehingga seringkali membuat orang Kristen terjepit antara kesetiaan dengan Kristus dan semangat pluralis, yang mana membuat orang Kristen seringkali mendapat sebutan seperti:
1. arogan/sombong
2. tidak toleran
3. fanatik
Terlepas dari cara orang Kristen yang menyampaikan berita tersebut seringkali tidak sensitif dan terkesan sombong atau menyakiti hati orang lain, biarlah tulisan ini juga menyampaikan permintaan maaf yang paling dalam bagi orang-orang yang dilukai tersebut. Tetapi lebih dari itu, tulisan ini bertujuan untuk melihat content yang hendak disampaikan terlepas dari konteks/cara penyampaian yang salah yang seringkali dibawa oleh orang Kristen sehingga klaim Kristus sebagai satu-satunya alternatif keselamatan menjadi kabur.

Pertanyaan: Apakah memang pada dasarnya semua agama sama?
Tidak.
Counter argument 1:
Islam percaya bahwa Yesus bukanlah Anak Allah karena Allah tidak beranak.
Kristen percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah yang berinkarnasi menjadi manusia.
2 statement di atas tidaklah mungkin dua-duanya benar. Sehingga dengan otomatis menggugurkan statement bahwa semua agama sama.

Counter argument 2:
Ke-Kristenan bukanlah satu-satunya agama yang mengklaim akan kebenaran ekslusif (satu-satunya yang benar)
Agama Hindu mengajarkan 3 ajaran utama: karma, reinkarnasi dan otoritas Veda.
Agama Islam juga mengklaim diri sebagai ajaran yang diturunkan oleh nabi Muhammad adalah yang paling murni.
Bagaimana mungkin setiap agama yang mempunya klaim kebenaran eksklusif bisa disamaratakan sebagai ajaran yang sama. 
Bila ada agama yang tidak mengajarkan kebenaran eksklusif, maka pertanyaannya mengapa harus membentuk agama yang terpisah, kenapa tidak merger saja dengan agama yang lain.

Alternatif lain untuk menyatukan agama-agama yang berbeda tersebut adalah dengan mengurangi hal-hal yang berbeda/bertentangan dalam masing-masing agama sehingga terlihat sama. Hal ini akan mengakibatkan agama-agama tersebut menjadi kehilangan esensi atau keunikannya. Hindu tanpa reinkarnasi dan karma bukanlah Hindu. Sama seperti Kristen tanpa Kristus sebagai pusatnya hanyalah menjadi pengajaran filsafat moral yang setara dengan Aristoteles, Plato ataupun ajaran moralitas lainnya. Ke-Kristenan seperti itu adalah ke-Kristenan yang kosong.

Pertanyaan 2: Mengapa hanya ada 1 jalan menuju keselamatan? Apakah Tuhan berpikiran sempit?
R.C Sproul memberikan jawabannya yang sangat perlu diperhatikan untuk menjawab keberatan dalam pertanyaan ini:
" Andaikan karena alasan yang tidak benar manusia yang tak tahu berterima kasih ini tidak menaati pembatasan tersebut pada saat Allah tidak melihat mereka. Andaikan ketika Allah mengetahui pelanggaran tersebut Dia tidak membunuh melainkan menebus mereka. Andaikan keturunan dari para pelanggar pertama semakin tidak taat dan memusuhi pencipta mereka sehingga seluruh dunia memberontak terhadap Allah dan masing-masing orang di dalamnya "berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri"......
Andaikan Allah, yang masih ingin melakukan penebusan, mengirimkan pembawa pesan atau nabi-nabi yang secara khusus diberkati untuk meminta agar umat-Nya kembali kepada-Nya. Andaikan umat tersebut membunuh para pembawa pesan ilahi dan mengejek pesan mereka.....
Andaikan sebagai puncak penebusan-Nya Allah sendiri melakukan inkarnasi melalui pribadi Anak-Nya. Andaikan Anak ini datang ke dalam dunia bukan untuk menghukum dunia, melainkan untuk menebusnya. Tetapi andaikan Anak Allah ini ditolak, difitnah, diejek, disiksa, dan dibunuh. Walaupun demikian, andaikan Allah menerima pembunuhan Anak-Nya itu sebagai hukuman atas dosa dari orang-orang yang membunuh-Nya. Andaikan Allah memberikan pengampunan penuh kepada para pembunuh Anak-Nya, damai melampaui segala akal yang terjadi karena penyucian semua kesalahan, kemenangan atas kematian dan hidup kekal yang penuh dengan kebahagiaan....
Andaikan Allah berkata kepada mereka, " Hanya satu yang Ku minta. Aku minta agar kalian menghormati Anak-Ku satu-satunya dan menyembah dan melayani-Nya saja." Andaikan Allah melakukan semua itu, pakah anda akan berkata kepada-Nya, "Itu tidak adil, Allah, yang Kau lakukan belum cukup"?....
sesungguhnya masalahnya bukanlah mengapa hanya ada satu jalan, melainkan mengapa masih ada jalan?...."

Pertanyaan 3: Apakah Kristus satu-satunya jalan?
Jawaban pertanyaan ini harus didasarkan dengan keunikan-keunikan Kristus dibanding dengan pemuka agama lain di sepanjang zaman.
Keunikan Kristus:
1. ketidak berdosaan Nya
tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan klaim ini.
2. kebangkitan Nya
memberikan legalisir kuasa dari Tuhan. Semua pemimpin agama mati, tapi Kristus masih hidup
3. penebusan Nya
Tidak ada seorang pemuka agama manapun berani mengatakan bahwa dia bisa menebus dosa manusia.
Kalau kemudian ada yang meragukan klaim-klaim tersebut maka itu bisa menjadi topik diskusi yang lain mengenai kebenaran Alkitab. Seandainya, Kristus tidak mengklaim Diri sebagai Tuhan yang berinkarnasi sebagai manusia, seandainya Kristus tidak mengklaim Diri bangkit dari kematian, seandainya Kristus tidak mengklaim Diri sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup yang satu-satunya, maka pengajaran Dia sudah pasti akan lebih mudah diterima oleh orang banyak seperti sebagaimana banyak orang menerima pengajaran para filsuf klasik. Bila memang Kristus datang untuk mendirikan agama baru yang didasari oleh kebohongan, maka Dia akan memberikan klaim lain yang tidak sulit diterima orang, tapi Dia datang adalah untuk memberi tahukan berita kebenaran, berita penghiburan, bahwa masih ada jalan untuk keselamatan yang sejati, sehingga Dia mengambil resiko untuk ditolak dan dibunuh dengan tetap mengabarkan kebenaran terlepas dari respon mayoritas.

Sumber: "Mengapa Percaya" R.C Sproul, " A Case for Faith", Lee Strobel

Tuesday, April 19, 2011

Nagging: A Hidden Transaction Cost in Doing Business

It is very close to my wedding, so my fiancee and me went shopping for wedding rings. We went to one small store in Pasar Atom, Surabaya, it is my fiancee's friend's store. Then, after a long process of filtering choices, we finally decided on the design and since they are friends, we used whatever time left before the store closed to chat. The store owner told us stories about her customers, who some of them  bargained for unreasonable prices. And unlucky for her, those people didn't accept "No" as the answer. They kept nagging her over and over, and sometimes even continued on the following day hoping for scraping some more profit margin left.
In the economist's point of view, those bargaining process (nagging is a more precise word, I think) has a hidden cost that is supposed to be counted toward the price. The cost is contributed from the time, emotion, and or maybe some gas in the tank or phone's bill.
Putting on the seller's hat, if time and emotion is a luxurious "goods" (maybe because the store is always busy, so committing yourself to one hard customer might cost us some other potentially easier customers or maybe you are a kind of person who holding down your emotion is a hard thing to do) nagging should be punished by higher price ( in reference of more cost applied to you) rather than giving up some of the profit margin. For these sellers, I would suggest to put on a sign "For every one minute of nagging will cost you $10 extra to the final invoice" or maybe give a reward for those customers who don't bother to bargain the price at all by giving them some discount.
However, if time and emotion is an "inferior goods" to the seller (the customers coming to the store in one day could be figured with one hand), I would suggest set the price really high leaving a huge gap to bargain. If this happens, then it is more a war between the seller and the customer, who is willing to trade more of his time and emotion for a chance of bigger slice of profit. The winner is highly probable the one who value time and emotion less.
Now, it all makes sense why unemployed chidless housewives are the best bargainer in the world...they have all the time in the world and I also sense that there is some pride gleaming in their eyes if they could get the same item as their friends with cheaper price.

Thursday, April 7, 2011

Human's Survival Mode: ON!!

Last Sunday, my family and I did a short road trip to Lawang in business of commencing traditional "ancestral grave visit." Leaving from Surabaya there can be only one way (as far as my family know) that is through city of Porong, and yup, it is the place where the tragedy of Lapindo mud flood happened. After almost 5 years, the damage still hasn't been neutralized completely. The public infrastructure still blocked by the mud and the only way is through a narrow road along side of the mud dam. 2 way-narrow road plus extremely high volume of vehicles equal to CRAZY TRAFFIC JAM!! It took 3,5 hours for a trip that is supposed to be 2 hours max before. Well, cursing Lapindo mud flood could make an interesting blog by itself, but there is another side of the tragedy that trigger my interest. It actually creates a new job opportunity for some local people. Food stalls on the side road is spreading rapidly trying to take advantage of bored and hungry passengers stuck for a long time on the road. So amazing how people could see this opportunity. Some other group of local people standing in the middle of the road holding sign "Guide to alternative path." They are locals with motorcycle will lead you through confusing and extremely narrow alternative paths to escape the queue. The good thing about it is the price is negotiable!! Darwinist will call this the survival-of-the-fittest evidence in the small and isolated scale. Those who survive are the ones who refuse to give up and to find another open door when some doors are being shutted. With all being said, I do not mean here to glorify the tragedy or to belittle the damage done. I still demand the responsible party to step up and pay up the spilled cost they created at the first place. For the record, along the trip I kept cursing the Lapindo for bringing so many casualties to both direct and indirect victims like me. I hope this post will once again remind us of the tragedy that still remains unsolved and while I applauded those locals who inspired me personally to keep standing tall whatever life throws at you. God bless you all!