Tuesday, April 3, 2012

Disturbing The Comfortable Zone


Baru-baru ini aku dan istri menonton bioskop di salah satu Mall yang besar di Surabaya. Kaget juga mengetahui ada ruang lounge khusus untuk para pembeli tiket yang menunggu jadwal diputarnya film. Setahuku menunggu di lobi bioskop sudah cukup nyaman dengan kursi empuk dan AC nya yang dingin. Ternyata untuk ukuran zaman sekarang, itu dirasa masih kurang nyaman. Ternyata ada pula bioskop yang malah menyediakan kursi yang bisa diturunkan sandarannya sampai pada posisi tidur lengkap dengan bantal, selimut dan camilannya. Luar biasa!!!
Semakin lama kita semakin terbiasa dengan kenyamanan dan semakin alergi dengan kata-kata seperti 'sakit', 'perjuangan', 'proses', 'susah' dan kata-kata sejenis. Tanpa sadar kita seperti hidup di dalam suatu bubble yang memproteksi kita dari hal-hal yang tidak nyaman tadi. Ada suatu frasa yang sangat terkenal untuk melukiskan bubble tersebut yaitu comfort zone. A zone to live comfortably.
Ada beberapa masalah mengenai comfort zone ini, setidaknya ada tiga menurut saya. Pertama, seiring dengan berjalannya waktu comfort zone cenderung menjadi semakin sempit. Apa yang dahulu dirasa nyaman, di waktu ke depan bisa berubah menjadi tidak nyaman. Akan tiba waktunya kursi empuk dan AC dingin tidak lagi masuk kategori nyaman, dan akan juga tiba waktunya kursi yang bisa diturunkan sampai posisi tidur dengan bantal, selimut dan camilan juga menjadi tidak nyaman. Sebaliknya saya jarang sekali mendengar yang dahulunya dalam kategori tidak nyaman bisa masuk ke kategori nyaman kecuali ada suatu 'pencerahan.' Dengan semakin sempitnya comfort zone juga berarti semakin banyak hal-hal yang menganggu kita. Semakin sering kita akan mengeluh dan frustrasi menghadapi hidup ini. Ujung-ujungnya ya pasti menyalahkan faktor di luar diri kita sendiri, salah orang lain, salah situasi, salah negara dan bahkan salah Tuhan yang menyebabkan kita 'menderita'. Gereja pun disesaki dengan program-program yang bertopik seperti "Dimana Tuhan Ketika Aku Menderita?" "Apakah Itu Cinta? Deritanya Tiada Akhir," "Ketika Kita Melayani Tuhan Tapi Hidup Tetap Sengsara" dll. Padahal inti permasalahan kebanyakan dari kita adalah toleransi kita terhadap 'ketidaknyamanan' yang sangat kecil.
Masalah kedua adalah bukan apa yang kita lakukan selama di dalam comfort zone, tapi apa yang tidak kita lakukan. Saya teringat dengan kisah Petrus yang berjalan di atas air (Matius 14:28) Yup, Petrus ketika itu 'menantang' Tuhan Yesus untuk mengajak dia berjalan di atas air menemui-Nya. Dengan iman yang berbau nekad, Petrus pun melangkah keluar dari perahu mendatangi Tuhan Yesus, dan jadilah dia manusia ketiga yang berjalan di atas air setelah Tuhan Yesus dan ninja Hattori. Pengalaman Petrus itu bisa didapat karena dia bertindak keluar dari comfort zonenya. Tentu saja perlu ada pertimbangan, tapi bila Tuhan memang memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu di luar comfort zone, lakukanlah dan kita akan memiliki pengalaman-pengalaman yang tidak akan pernah didapat oleh orang-orang yang bermain aman dan nyaman.
Terakhir mengenai comfort zone adalah sesuai dengan namanya...comfort..tidak ada yang menganggu..semua stabil...dengan kata lain: membosankan. Kita akan menjalani kehidupan yang monoton dan membosankan. Tidak ada inspirasi dan kreativitas keluar dari pikiran kita. Yang ada hanya menjalani hidup seperti robot. Tuhan menjadikan kita lebih dari itu, Dia menginginkan kita untuk mencipta, berkreasi dan berelasi. Gereja harus mulai berkampanye tidak hanya "Say no to drugs!!" tapi juga "Say..onara boring life!!!"
Tuhan Yesus mati dan bangkit untuk manusia agar kita memiliki kehidupan setelah kematian, tapi juga untuk memiliki 'kehidupan' selama kita di dunia ini. Cheers!!!

No comments:

Post a Comment